Jumat, 11 April 2008

Insosialisasi Hukum dan Pelaksanaannya



Hukum adalah sekumpulan norma-norma dalam mengatur tindak-tanduk masyarakat secara universal. Salah satu karakter di dalam penegakan hukum itu sendiri, bercirikan sistem preventif dan represif. Di dalam menilai secara implisit, praktik-praktik penegakan hukum akan tidak rasional jika upaya preventif tidak ditunjang skala informasi hukum yang proporsional. Sebab, akar kekuatan hukum harus pula di dasari pada sosialisasi hukum yang edukatif. Fenomena ketimpangan penegakan hukum saat ini, dikarenakan, media publikasi sosialisasi hukum kurang maksimal. Padahal, langkah preventif dan penyadaran hukum bagi masyarakat luas, akan dapat membantu biaya operasional tertib sosial serta meminimalisir angka pelanggaran dan kejahatan pidana dilingkungan masyarakat.

Ada beberapa instrument hukum (peraturan perundang-undangan) yang lahir tanpa dilakukan sosialisasi hukum non-totalitas. Contohnya : Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 Tentang Dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan lalu-lintas jalan. Kedua Instrumen hukum diatas dibuat 44 tahun lalu. Yang disayangkan, sejak UU ini lahir sampai saat sekarang, tidak semua masyarakat pengguna transportasi umum tahu bahwa akan mendapat premi (tunjangan) biaya pengobatan di rumah sakit, bila ditimbulkan karena kecelakaan, di tanggung oleh pihak Jasa Rahardja.

Contoh lain : Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Peraturan ini di fungsikan untuk mencegah kejahatan atau perbuatan pidana dalam ruang lingkup keluarga. Akantetapi, para masyarakat maupun oknum polisi, tidak dapat membedakan instrument hukum ini bersifat publik (pidana) atau Privat (perdata). Dari sekian kodifikasi hukum diatas. Akhirnya, hukum yang dikeluarkan tidak dapat berfungsi efektif dan menyeluruh. Tidak itu saja, aturan-aturan baku didalam hukum, akan muncul benturan fungsi penegakan hukum secara materiil.

Bagi ”masyarakat hukum,” (praktisi hukum,[doktrin]akademisi hukum) konsepsi hukum baru akan menciptakan substansi positif. Akan tetapi, bagi elemen masyarakat ”awam hukum”, akan memiliki garis perbedaan ketimpangan sosiologis hukum yang signifikan. Maka sudah seyogyanya, sosialisasi terhadap intrumen hukum, baik; peraturan lama dan baru agar dapat dipublikasikan dengan lebih maksimal. Sehingga, pengetahuan masyarakat sebagai objek hukum dapat berperan aktif untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum tersebut.

Sistem hukum di Indonesia menganut sistem, ius constituetuem (baca : yus konstitutum). Di artikan hukum positif. Perananan sistem hukum ini, tidaklah sekadar pada prinsip penegakannya akan tetapi pada fungsi-fungsi lain, misalnya, sosialisasi hukum.

DEGRADASI PERANCANGAN, PENEGAKAN dan PELAKSANAAN HUKUM

Pragmatis sekali, Pemubaziran hukum akan terskema, karena kompetensi pelaksanaan peraturan perundang-undangan di Indonesia mencerminkan ”fiksi hukum”. Artinya, kodifikasi aturan hukum dibuat, Tapi tidak berlaku seperti fungsinya. Bila ini terjadi, intensitas demoralisasi bangsa akan bertambah, serta, kepercayaan akan instrument hukum menurun. Dan realitas itu di kondisikan saat ini. Kalau di kaji, ada tiga hal yang menyebabkan masalah tersebut diatas, yaitu : (1) Diskriminasi hukum; (2) Insosialisasi hukum; (3) Eksistensi kontrol sosial menurun.

Di dalam konstitusi, Indonesia adalah (Rech Staat) Negara hukum. Tapi wujud isi konstitusi berbeda dengan gambaran konstitusional. Degradasi sistem hukum kita akan melahirkan paradoks di dalam masyarakat. Stereotip terhadap sistem hukum, berdampak ”hukum rimba” dapat terjadi dirana hukum Indonesia. Pola kekuatan hukum menjadi irasional di masyarakat, sehingga lahir ”street justice”, atau pola kejahatan baru.

Reformasi (perubahan) sistem di Negara kita, seharusnya sinkronisasi di semua sistem. Yang menyedihkan, dari semua orde kepemimpinan, kekuatan sistem perubahan hanya berkutat pada, sistem politik dan sistem ekonomi. Lokikanya, hukum adalah produk politik, dan untuk menjalankan langkah-langkah politik harus berdasarkan hukum. Menjalankan roda perekonomian harus berdasarkan aturan hukum. Yang berbahaya, kalau produk hukum itu dibuat secara politik, melalui mekanisme karakteristik kepentingan tertentu, Insosialisasi, KKN, dan Inkonstitusional*.